Sebuah Resensi? Mungkin bukan. Jauh dari itu.
Ini adalah sekedar tuangan perasaan yang saya rasakan saat saya membuka lembar demi lembar yang terbagi sepanjang 32 bagian di dalam novel “Tamu Kota Seoul” karya Yustri Fajar. Terbit Desember 2019.
Yang pasti, ada satu hal yang masih (dan mungkin akan terus) membikin saya terkekeh-kekeh bahkan saat menuangkan ini. Saya akhirnya tersadarkan bahwa nama panggilan saya adalah Musafir, sementara itu saya beristrikan seorang wanita nan fitri bernama Fitriyah.
Jadi, jika Anda selama ini memanggil saya dengan sebutan “Pak Suray” maka Anda telah salah alamat, karena nama panggilan saya (mungkin seharusnya) adalah “Pak Musafir”!!!
hehehe
Bagaimana mungkin?
Ouuu mungkin saja!
Itulah perasaan (atau pengetahuan?) yang saya rasakan saat menyelami dunia Pak Jagat, seorang dosen tamu dari Indonesia yang ditugaskan mengajar Sastra Indonesia di Jurusan Malay & Indonesia di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS) di kota Seoul. Simpelnya, Pak Jagat adalah salah satu tokoh di novel “Tamu Kota Seoul” itu.
Lho, HUFS kan kampus saya menempuh kuliah S3 yang maunya 4 tahun tapi molor menjadi 6 tahun. Jadi, latar belakang novel ini saja sudah dari awal membuat saya terlilit dan kepincut untuk membacanya. Lho, ternyata lagi, di dalam novel Pak Jagat dikisahkan bertetanggaan dengan Pak Musafir yang katanya adalah dosen UGM yang sedang S3. Hmm, kog seperti saya dulu, ya?
Sebentar, sebentar, sebentar…..memang dosen-dosen UGM yang pernah kuliah S3 di HUFS hanya saya? Hehehe….tidak juga sih. Karena ada yang lain. Namun, ternyata Pak Musafir yang jadi tetangganya Pak Jagat saat tinggal di Seoul itu digambarkan punya dua anak yang bersekolah di Korea dan setiap hari anaknya pakai bahasa Korea. Istrinya ikut lagi menemani sang suami. Nah, lho. Bagaimana saya tidak langsung berkesimpulan dan (bangga) bahwa jangan-jangan Pak Musafir itu mirip atau malah didasarkan dari kisah kisah hidup saya? Hehehe. Jika disuruh memilih semoga ini benar atau salah, maka saya berharap ini benar.
Anyway…itulah yang membuat saya masih terkekeh-kekeh tanda takjub dan kesengsem dengan gaya berceritanya mas Yusri Fajar yang saya akui sangat pintar mengkhayal tingkat tinggi namun berisi. Dia pun mampu menerbangkan kalimatnya dengan detil-detil rumah, apartemen, jalanan, musim, stasiun subway di kota Seoul yang menjadi background kehidupan Pak Jagat. Apalagi pas novelnya mengulik bagaimana Pak Jagat melalui hari-harinya di stasiun Hwarangdae, Deoljogi, Seoggyae, Taereung, Shinimun dll yang memang sangat amat dekat dengan pengalaman saya selama hidup di Seoul selama lebih dari 6 tahun.
Saya hanya bisa menilai bahwa seorang Yusri Fajar memang orang yang jeli, gemesan, dan inquisitive saat memandang sesuatu. Saya jadi penasaran berapa lamakah mas Yusri tinggal di Seoul. Hmmm, seingat saya Mas Yusri sekedar berkunjung bukan untuk menetap. Dia pun juga “tamu” sama seperti Pak Jagat dan Pak Musafir yang jadi tokoh-tokoh novelnya.
Uniknya, Mas Yusri ini jadi seorang “tamu” yang daya ingatannya super duper tajam. Bagaimana tidak, seluruh bagian novelnya penuh dengan narasi dan deskripsi yang unik terkait sudut-sudut kampus di HUFS dan apartemen reot dan tua yang ditempati Pak Jagat, bahkan nama-nama satpam apartemennya saja sampai tahu (hmm kalau ini mungkin dibuat-buat?). Saya jadi penasaran.
Kesimpulan awal saya adalah bahwa mas Yusri berhasil mengaburkan batas-batas realita, fakta, khayalan, dan mimpi yang dia alami dan lihat selama dia berpetualang menjadi tamu di Seoul saat dan kala itu--yang akhirnya berhasil dia tuangkan menjadi sebuah novel. Itulah uniknya.
Begini saja. Mas Yusri itu bukan dosen tamunya. Novel ini juga bukan berdasarkan pengalaman pribadinya, karena dia bukan seorang dosen tamu. Jadi, Pak Jagat itu bukan dan pasti bukan Mas Yusri. Ini bukan otobiografi kisahnya di Seoul. Jadi, tak mungkin dia mendasarkan jalan cerita di novel ini berdasarkan hidupnya. Namun, yang pasti, saya tahu bahwa dia punya sabahat, teman, sekaligus mentor yang kebetulan menjadi dosen tamu di HUFS. Siapa pun yang kenal Mas Yusri Fajar, maka akan bisa menebak-nebak. Saya tak akan menuliskannya di sini siapa beliau yang dijadikan blueprint kasar tokoh Jagat karena lagi-lagi itulah uniknya novel ini. Karena Pak Jagat bukanlah seseorang yang saya kenal walaupun sebenarnya saya rasa-rasanya kenal. Masih ingat kan tadi saya menulis bahwa Pak Musafir bertetanggaan dengan Pak Jagat di apartemen reot yang sama. Saya yang merasa seperti Pak Musafir saja juga antara kenal dan tidak, walaupun sama-sama di HUFS.
Jadi, selama saya membolak-balikkan halaman, saya seakan-akan merasa tahu dan kenal baik Pak Jagat tetapi setelah dipikir-pikir saya sebenarnya tidak begitu kenal juga karena kisah Pak Jagat adalah tokoh khayalannya Mas Yusri. Namun, tokoh khayalan ini saya rasakan sebagai hasil dari gabungan dan gubahan dari berbagai persona-persona seorang akademisi Indonesia yang cinta pada Sastra Indonesia dan para pujangga dan sastrawan Indonesia. Yang kebetulan dikisahkan menjadi dosen tamu di HUFS. Bahkan, mungkin mas Yusri juga sengaja menamainya Pak Jagat yang bisa dimaknai ‘dunia luas’ karena saking luasnya pengetahuan Pak Jagat tentang sastra Indonesia, Sastra dunia, dan seluk-beluknya.
Untuk itulah, saya mau tak mau kudu menuangkan perasaan saya di sini begitu saya merampungkan membaca novel ini.
Memang, kota Malang dan universitas asal Pak Jagat sebelum berangkat menjadi “tamu” di kota Seoul benar-benar jelas tergambarkan di dalam novel ini. Jadi, banyak pembaca novel ini yang pasti kesimpulannya “mengerucut” bahwa sosok Pak Jagat ini adalah Pak A di universitas X di kota Malang. Uniknya, semakin saya membaca dalam novel ini, saya tidak berani dan tak yakin bahwa Pak A di universitas X itu adalah Pak Jagat karena kepiawaian mas Yusri menjungkirbalikkan dan meramu semua faktor A sampai Z sehingga sosok pak Jagat ini menjadi sebuah tokoh yang memang pas ada dan hanya ada di novel-novel seperti ini. Kisah asmara, kisah keluarga, intrik di kampus, hubungan ayah-anak yang dialami Pak Jagat berhasil membuat saya penasaran benarkah Pak Jagat adalah orang yang saya kenal di HUFS? Rasanya tak mungkin, walaupun ada serpihan-serpihan yang benar adanya.
Satu hal yang pasti, latar belakang seperti kampus HUFS, kota Seoul, nama jurusan, Yogya, Malang, Namdaemun, Hongdae, Myeongdong dan lain-lain memang menyatu dengan sosok Pak Jagat yang mencoba menyeimbangkan “keberuntungan” dan “profesionalisme” plus “keharmonisan keluarga” selama menjadi “tamu” di kota Seoul.
Okay, kini saya akan menuangkan 3 hal unik dan 1 pertanyaan yang membuat saya tertegun karena novel ini.
1. Semua adalah tamu. Ya, semua tokoh yang ada dalam novel ini adalah tamu. Saya pada awalnya berpikir bahwa yang dimaksud tamu adalah Pak Jagat yang diundang HUFS menjadi dosen tamu di Seoul. Namun, gaya penulisan mas Yusri yang mengganti-ganti kaca mata dan sudut penceritaan yang berubah-ubah di banyak bab membuat pembacanya akan merasa bahwa “tamu” ini bisa siapa saja. Tokoh Tika (anak perempuan Pak Jagat), Dong Hun (mahasiswa ganteng pintar di kelasnya Pak Jagat), bahkan Myung Hee (orang Korea yang kebetulan bertetangga dengan Pak Jagat dan yang membuat hati deg-degan pun) bisa disulap menjadi “tamu” di dalam narasi novel ini. Kita pun bisa menjadi “tamu” di dalam diri kita sendiri bila kita tak memahami siapa diri kita.
2. Kedalaman Budaya. Mas Yusri bukan sekedar menyisipkan isu-isu budaya Korea seperti Hallyu, K-cosmetics, K-Pop, K-Drama seperti Sky-Castle sebagai pemanis atau penghias. Namun, dia berhasil memanfaatkannya menjadi narasi yang membawa alur kisah. Baca saja bab 19 (Tenggelam dalam Konser BTS) yang terus terang menjadi bab pertama yang saya baca!!!! Ya, saya akan jujur. Inilah bab pertama yang saya baca dulu dan sampai belakang lalu kembali ke bab pertama. Apakah tidak bingung? Ternyata tidak…karena justru membuat saya penasaran……dan membuat saya percaya bahwa novel ini layak dibaca tiap babnya. Dari bab 19 ini saya mulai diperkenalkan dengan tokoh-tokoh di novelnya yang ternyata ada anak Pak Jagat dan pacarnya….yang semua ada saling-berkaitan dari awal. Kalau bab 19 saja bisa membuat seorang pembaca tertarik, maka….sisanya bisa juga.
Tentang K-cosmetics pun…mas Yusri berkali-kali menyinggung isu ini. Ada dua tokoh (kalau tak salah Tika, pacarnya, ibunya Tika, dan bahkan Pak Jagat yang isu pembicaraannya nyinggung perlu tidaknya memakai make-up ala Korea. Bukan di satu bab, tapi berulang dan diungkit-ungkit lagi di beberapa bab…tapi memang pas juga dimunculkan ulang dan ulang.
Tentang tokoh-tokoh sastrawan Korea dan Indonesia beserta karya-karyanya pun tak lupa disematkan sebagai “lem” alur cerita di dalam novel ini.
Jika pembacanya bukan penikmat puisi, bisa di-skip, namun bagi yang suka, maka ini adalah a treat not to be missed.
3. Isu-Isu sensitif di Korea dan Indonesia pun tak lepas dibeberkan di novel ini. Dari kekejaman pemerintah baik Indonesia maupun Korea di jaman pergerakan demokrasi, muatan-muatan novel di kedua negara yang dulu pernah ditakuti penguasa, isu Korea Utara, isu terkait wamil di Korea, sampai intrik-intrik dalam perguruan tinggi pun…menjadi sakarin di novel ini. Ya sakarin. Terkadang ada yang kebanyakan penuangannya. Tetapi, jika Anda penyuka sejarah, maka ini bisa dilihat sebagai vitamin.
4. Tika (anak Pak Jagat) itu lulus SMA di kota Malang, tetapi bisa langsung bisa S2 di HUFS? Hmm….saya masih mencoba mencari penjelasan.
Berarti perlu membacanya lagi atau tanya langsung ke Mas Yusri saja ya?
Itulah tuangan perasaan saya setelah membaca novel “Tamu Kota Seoul” karya seorang novelis bernama Yusri Fajar, yang sebenarnya telah saya kenal. Terima kasih mas Yusri.
Ini adalah karya yang harus saya apresiasi karena menunjukkan dan membuktikan bahwa mas Yusri memang seseorang yang bermata tajam dan tulus dalam menyelami perbedaan perbedaan budaya.
Bagi Anda yang tertarik dengan novel ini, silakan cari “Tamu Kota Seoul” dan bagi Anda yang penasaran dengan siapakah gerangan mas Yusri Fajar ini, silakan cari info tentang beliau dan Anda akan tahu bahwa “melanglang buana” untuk urusan akademik dan non-akademik adalah hobinya.
Hmmmmmmmm, ternyata, sebenarnya yang Musafir adalah mas Yusri Fajar. Not me.^^
Jogjakarta, 12 Juni 2020
No comments:
Post a Comment