Everybody Has Problems
&
There’s No Such Thing as A Picture Perfect Glossy Life
“Screw you!”
“Screw you for having the world’s most perfect, accepting parents, the world’s most supportive friends. Because for some of us, it’s not that easy.”
Wow. Itulah monolog pembuka yang membuat saya langsung kesengsem dengan
“Love, Victor”--sebuah seri 10 episode
yang gres tayang tadi malam.
Itulah gambaran jujur yang kulihat dan kunikmati selama hampir 6 jam binge-watching romcom/dramedy/dragedy(?) yang sudah saya tunggu sejak beberapa bulan lalu. “Love, Victor” adalah sebuah spin-off dari film tahun 2018 yang berjudul “Love, Simon”.
Bagi yang tahu film apa itu, pasti tahu. Bagi yang tak tahu, film “Love, Simon” secara singkat menyinggung tentang isu LGBTQ+ yang berani diangkat sebagai sebuah film romcom oleh studio besar dan diedar secara luas di bioskop. Tak sampai di Indonesia memang. Namun, bukan berarti tidak ada cara untuk bisa menikmatinya.
Sementara itu, drama 10 episode “Love, Victor” aka LV ini merupakan drama yang mengangkat tema yang mirip, namun isinya penuh dengan berbagai macam vitamin baru yang menambah kurangnya vitamin di film “Love, Simon”. Memang film “Love, Simon” kurang vitamin? Hmm, it is in such a way. Bagus sih, tapi sepertinya film itu lebih menggambarkan kehidupan yang benar-benar glossy dan seakan-akan semua akan indah pada masanya.
Jika di film “Love, Simon”, kisah coming out yang dilukiskan oleh tokoh Simon terasa agak-agak mulus dan romantis karena dia tinggal dalam sebuah keluarga yang lumayan liberal dan so understanding and so accepting. Tidak untuk tokoh Victor Salazar dalam drama 10-episode LV, karena keluarganya tergolong atau terlihat tidak seliberal keluarga Simon dan itu bisa mempengarungi kecilnya kemungkinan coming out dari Victor.
Makanya, ungkapan “Screw You” yang diucapkan Victor lewat pesan pribadi ke Simon adalah hal yang benar-benar menggelikan dan menggelitik dan itu cukup untuk membuat saya tertarik hingga sekitar 6 jam selesai in one sitting nonton 10 episode.
Itulah vitamin yang saya maksudkan yang akhirnya ada dalam drama LV.
Mana ada kehidupan yang sempurna?
Mana ada keluarga yang semuanya bisa menerima?
Mana ada komunitas yang semuanya bisa menerima?
Jawabannya tentu saja tidak ada dan LV melukiskannya dengan enak dan mulus.
Lagi-lagi, buktinya 6 jam binge-watching tak terasa.
Namun, sebelum kulanjutkan tulisan tentang LV, saya ingin membuat pernyataan bahwa walaupun film “Love, Simon” terkesan glossy atau dibumbu-bumbui agar terlihat enak ditonton, saya tetap senang karena bisa jadi film itu telah ditonton jutaan remaja yang mungkin merasa terwakili dan merasakan adanya harapan bahwa menjadi diri sendiri dan menerima diri sendiri itu jauh lebih baik daripada merasa terkucilkan atau lebih parahnya…..memilih untuk bunuh diri. Naudzubillah min dzalik. Jadi, jika pesan sebuah film bisa sampai menyelamatkan nyawa, itu sudah pengaruh yang luar biasa.
So, back to Victor in LV.
Di drama seri LV ini, kehidupan seorang remaja laki-laki bernama Victor yang berusia 16 tahun dan baru SMA kelas 1 itu memang pas bila dibilang bak rollercoaster yang kadang-kadang Taman Temanya ngadat dan berhenti di tengah-tengah dan dia dibuat menggantung…hingga beberapa saat. Bersyukur bila pihak Taman Temanya sigap memperbaiki kekacauan. Jika tidak? Dia seakan hidup dalam life-changing moment atau dangling in limbo atau bahkan cemas karena tak tahu bagaimana nasibnya setelahnya.
Parahnya(?)…sedihnya(?)…untungnya(?)…. rollercoaster yang dia tumpangi itu ndilalah….kog yao….kebetulan ditumpangi bersama dengan ibu, bapak, adik perempuan, adik laki-laki, kakek, nenek, teman-teman akrab dan teman-teman sok jagoan dan tentu saja dua orang idaman hati, baik yang disimpan dalam hati saja maupun hanya dilihat lewat hati. Jadi, semua masalah jungkir-balik bersama-sama.
Terlihat kacau? Yup. Seperti itulah.
Namun, syukurlah…seri 10 episode itu benar-benar pengalaman naik rollercoster yang menakjubkan. Bahkan, saya ingin binge-watching lagi semua episodenya…dan siap-siap naik coaster itu lagi.
It’s that good.
Jadi, selama binge-watching 10 episode LV, yang terasa adalah ecstasy, euforia, sekaligus kesedihan.
Saya ingin menuangkan perasaan itu (lagi-lagi) di dalam ocehan saya kali ini sebelum lupa apa yang saya pikir dan rasakan. Mumpung masih gres dan fresh from the oven!
Tayang perdana tanggal 17 Juni 2020. Ya, Bulan Juni. The Month of June…dan saya ikut menontonnya di hari yang sama dari jam 9 malam hingga 2 pagi keesokan harinya. Aha!! Segitunya.
Entahlah…saya tak tahu dari mana harus menuliskan semua itu.
Yang saya tahu adalah bahwa semua fluiditas seksualitas memang bisa saja terjadi pas seseorang menginjak remaja apalagi saat di masa-masa SMA. Saya tak tahu budaya AS kecuali yang tergambar di film atau drama seri yang saya tonton. Namun, seingat saya….masa-masa SMA pun juga kurang lebih sama seperti itu. Back then..it was in the 90s. Belum ada sosmed. Almost everything was purely physical. I kinda remembered what it was like back then.
Jadi….adakah yang namanya A Picture Perfect Glossy Life?
Nada.
Nope.
Jika ada, itu semua hanyalah semu. Itulah yang juga terekam dengan jujur di LV.
Memang sih, drama kog nggak ada dramanya...kan nggak asyik.
Memang sih, 10-episode kog nggak ada problemanya…kan nggak asyik.
Untunglah, hampir semua drama & problema yang digambarkan LV terasa alami dan memang seharusnya itulah yang perlu digambarkan, bahwa semua orang di dunia ini punya masalah.
Masalah akan rumit jika setiap orang merasa bahwa masalahnya adalah masalah yang lebih rumit dibanding masalah orang lain. Victor, tentu saja, sebagai seseorang dengan masalah.
Victor punya masalah dengan keragu-raguannya apakah dia straight atau gay atau bi atau yang lain.
Victor punya masalah dengan ketidakyakinannya apakah orang tuanya akan menerima apa adanya.
Victor bisa punya masalah dengan lumayan religiousnya keluarganya-----walaupun itu masih nampak di permukaan.
Victor bisa punya masalah dengan kakek-neneknya yang asli Kolombia dan yang super konservatif dan yang selalu mempertanyakan perubahan sosial di sekitarnya.
Victor punya masalah dengan tim basket tempat dia jadi salah satu ujung tombak timnya.
Victor punya masalah dengan……zyxwvutsrqponml abcdefghijk…….dan hal-lain yang tak terhitung lagi.
Itu baru Victor, sang tokoh utama.
Dari semua tokoh yang ada, saya sungguh kagum dengan detil, subplot, dan screen time yang diberikan kepada keluarga Victor yang merupakan keturunan orang Latin sebagai background bagaimana Victor dilahirkan dan dibesarkan.
Kisah dimulai di hari pertama keluarga Victor tiba di Creekwood, Atlanta--meninggalkan Texas, rumah mereka yang lama.
Di awal semua terlihat indah dan sempurna…..hingga sebagai penonton…kita akan disadarkan bahwa tentu saja tak ada keluarga yang sempurna, termasuk keluarga Victor.
Orang tua Victor sudah lama sering bertengkar dan terdapat benih-benih perceraian walaupun mereka adalah pasangan sejak SMA. Adiknya Victor masih belum bisa fit in dengan lingkungan barunya, dan masalah-masalah lain.
Victor sendiri….tahu hal itu dan dia merasa ada yang tak beres dengan hubungan orang tuanya. Perlukah dia menambahi hal itu dengan kebimbangan seksualitasnya?
Sebagai seorang remaja yang sedang mencari jati diri, dia ternyata seorang fixer, seorang peacemaker alias seseorang yang justru hadir di tengah-tengah situasi sulit orang lain, terutama keluarganya dan dia bisa menjadi pemberi secercah harapan dengan ide-ide, tindakan spontannya, atau pun perkataannya.
Namun, ternyata….walaupun dia fixer buat problematika orang lain, justru dialah yang harus melupakan atau terpaksa memendam masalah besarnya sendiri, dan itu berarti dia harus berpura-pura untuk menjadi orang lain atau menyenangkan orang lain. Dia tahu sebenarnya bahwa dia seorang gay atau punya kecenderungan lebih untuk ke sana, namun situasi dan keadaan diri dan lingkungannya memaksanya untuk belum saatnya menjadi dirinya sendiri. Selama 10 episode, itulah rollercoaster yang terlihat natural penggambarannya.
Semua ditambah parah ketika secara out of twist, Victor (mencoba) pacaran dengan Mia, seorang gadis yang banyak diincar para cowok lain di SMAnya. Namun, di saat yang sama dia juga terlihat naksir dengan Benji, teman satu sekolahnya. Parahnya, Victor harus setiap hari bekerja paruh waktu di sebuah cafe bersama dengan Benji. Tentu saja, dia berada dalam rollercoaster yang bisa jadi semuanya out of control. Namun, karena ini drama remaja yang sebenarnya mau ditayangkan di Disney+ Channel (walaupun akhirnya di Hulu), maka dari awal sudah bisa diduga bahwa semua penggambarannya tak akan dibuat kelewat batas. Semua tetap terlihat aman ditonton walaupun ada yang nyrempet-nyrempet dikit. Tetapi, sepertinya LV akan terkenal sampai kapan pun dengan adegan fantasinya Victor yang melibatkan coffee maker machine, susu, dan Benji! Ya, saya tak menyangka bahwa mesim pembikin kopi bisa dibuat menjadi sensual seperti yang digambarkan dalam LV. Namun, saya tetap merasa bahwa semua masih dalam batas wajar, natural, nyata, dan lucu.
Yup, itu digambarkan bak fantasi. Rasa sukanya Victor terhadap Benji hanya bisa dipendam. Itulah yang digambarkan dalam 10 episode LV ini. Seakan-akan LV ini menyuarakan para kaum yang masih dan akan terus closeted alias tertutup dan memendam diri yang sengaja menyimpan erat dan dalam-dalam kepribadian mereka. Mending disimpan, bahkan banyak yang menyangkal ketertarikan semacam itu. Lagi-lagi, itulah yang tergambarkan di LV ini.
Saya sangat terkesan dengan gaya penceritaan LV yang mampu memberikan adegan-adegan memorable yang tak terhitung, terutama saat Victor harus mau tak mau dan berkali-kali mengorbankan perasaan dirinya demi ketenangan keluarganya. Apalagi dia adalah anak laki-laki pertama di keluarganya yang secara verbal digadang-gadang oleh ayah, terutama kakeknya yang konservatif untuk memberikannya keturunan Salazar nanti. Ucapan itu tepat disampaikan keras-keras pas di hari ultahnya yang ke-16 saat Victor masih mencari jati dirinya. Itu baru secuil kehidupan Victor yang secara terus menerus di banyak adegan pintar berbohong bahwa segalanya baik-baik saja demi menyenangkan orang lain: orang tuanya, keluarga besarnya, adiknya, teman-temannya, dan komunitasnya.
Saya juga sungguh terkesan dengan penggambaran hubungan seorang ibu dan anak laki-lakinya: Ibunya Victor dan Victor sendiri. Sungguh mengesankan. Banyak adegan saat mereka berdua bicara pelan dan bahkan tanpa bicara. Namun, keduanya saling tahu. Walaupun…tentu saja….ibunya tak tahu bahwa Victor punya rahasia. Sebaliknya, Victor pun (sempat) tak tahu bahwa ibunya juga punya rahasia yang bisa menggoncang semuanya.
Saya ingat ada adegan saat mereka berdua saling berpandangan di dapur rumah.
Ibunya bilang,”Semua kepura-puraan ini terkadang bisa sangat …..”
“Melelahkan” kata Victor seakan melengkapi kalimat ibunya.
Di lain sisi, hubungan Victor dengan ayahnya juga bisa bikin rollercoasternya naik dan berjalan pelan seakan-akan semua akan usai hingga tiba-tiba dihempaskan terhujam ke bawah. Baik di episode pertama maupun episode yang lain, ada beberapa bagian yang memperlihatkan hubungan itu. Victor sungguh tahu bahwa sebagai seorang keturunan Latino yang mementingkan sifat kelaki-lakian alias macho, dia harus mengikuti bagaimana jalan pikiran ayahnya. Di sinilah letak twist-nya!
Suatu saat setelah suatu kejadian yang menentukan jalan cerita (sengaja tak saya tulis), Victor berani menantang pemikiran konservatif kakeknya. Ternyata, ayah Victor justru membela Victor dan bangga akan hal itu. Namun, beberapa menit kemudian, hanya dengan satu kalimat pendek yang diucapkan ayahnya, Victor langsung tahu bahwa ayahnya tetaplah seseorang yang mungkin tak seliberal yang Victor kira.
Di sinilah letak betapa naturalnya percakapan itu. Sang ayah tidak pernah sadar bahwa apa yang dia ucapkan itu menyakiti dan semakin menekan anaknya. Itulah yang terjadi bahkan di dunia nyata. Terkadang orang tua pun tak sadar masalah apa yang dihadapi anaknya. Itulah salah satu rollercoaster hubungan ayah dan anak laki-laki di LV.
Saya juga dibuat deg-degan dengan rollercoaster hubungan Victor dengan Mia. Sebuah hubungan yang sebenarnya justru mengorbankan kepribadiannya demi menjaga lautan keharmonisan sosial. Namun, sebagai sebuah drama remaja, tema seperti ini sangat amat bagus karena ini bisa memantik pembicaraan.
Bahkan, saya tertegun dengan ucapan Victor yang secara implisit mengatakan bahwa dirinya tidak normal. Hal itu karena dia pernah bilang, “If there’s a chance for me to be happy and normal, why not try?”
Lagi-lagi, itulah kekuatan drama 10 episode ini. Ternyata, yang namanya coming out itu tidak melulu ke orang lain. Justru jujur pada diri sendirilah yang jauh lebih sulit. Di sini nampak benar bahwa tiap episode ada benang merah yang menggarisbawahi mengapa drama ini tak seperti romcom biasa, karena secara implisit ingin menyatakan bahwa denial alias pengingkaran pada diri sendiri merupakan sebuah kekuatan buat orang-orang seperti Victor yang hidup di tengah norma hetero yang menjadi panutan.
Salut pada drama ini. Walaupun terkesan biasa-biasa saja karena saking naturalnya, namun benang merah itulah yang membuat saya glued sampai akhir episodenya. Bahkah, teman-teman dekatnya Victor, apalagi ayah dan ibunya Victor pun dikisahkan punya denial-denial yang ada dalam diri mereka sendiri. Beberapa karakter di LV lumayan tiga dimensi dan bisa relatable bagi banyak penonton karena pasti ada denial-denial yang pas dan relatable dengan hati tiap penontonnya.
Yang pasti, buat si Victor Salazar, bahkan abad ke-21 di tahun Corona pun, urusan coming out sungguh menyulitkan dirinya dan itu di Amerika sana. Yang pasti, penggambaran drama ini at least mencoba untuk tak memasukkan bumbu-bumbu bahwa segala sesuatu di dunia ini baik-baik saja-----karena kenyataannya not at all.
Pertanyaan terakhirnya adalah, bagaimana hubungan Victor denga Mia? Adakah kemungkinan antara Victor dengan Benji? Apakah Victor bisa dan berani berterus terang dengan jati dirinya dan memberitahukannya kepada ayah dan ibunya di tengah-tengah kekurangharmonisan hubungan mereka?
Well, I got them all covered and I cannot wait for the 2nd season of “Love, Victor”
Karena rollercoasternya masih berjalan meliuk-liuk.
….and that’s all I got to say about this 10-episode teen drama.
Drama ini diciptakan oleh Isaac Aptaker dan Elizabeth Berger, berdasarkan novel berjudul “Simon Vs the Homo Sapiens Agenda” karya Becky Albertalli dan juga didasari atas film “Love, Simon” yang disutradarai oleh Greg Berlanti (2018).
Para pemainnya adalah
Michael Cimino sebagai Victor Salazar (kelas 1 SMA, mencari jati diri di tengah kebimbangan dengan orientasi seksualnya di lingkungan baru)
Rachel Naomi Hilson sebagai Mia Brooks (teman Victor, cerdas, sekaligus jadi “pacar” heteronya)
Anthony Turpel sebagai Felix Westen (Tetangga lantai atas di apartemen Victor, teman dekat)
Bebe Wood sebagai Lake Meriwether: (Karib Mia, pecandu medsos)
Mason Gooding sebagai Andrew (Pemain bola basket terkenal di tim SMA Creekwood)
George Sear sebagai Benjamin "Benji" Campbell (teman Victor, gay, ditaksir Victor dalam impian)
Isabella Ferreira sebagai Pilar Salazar (Adik perempuannya Victor, suka uring-uringan karena lingkungan baru)
Mateo Fernandez sebagai Adrian Salazar (Adik laki-lakinya Victor)
James Martinez sebagai Armando Salazar (Ayahnya Victor, pekerja keras, pencari nafkah keluarga)
Ana Ortiz sebagai Isabel Salazar (Ibunya Victor, buka les piano untuk bantu keuangan keluarga)
Nick Robinson sebagai Simon Spier (mengulang perasnnya sebagai Simon seperti di film “Love, Simon. Kebanyakan hanya muncul sebagai voice over, yang membacakan pesan dan nasehat-nasehatnya kepada Victor. Akhirnya muncul juga di episode ke-8)