Geram dengan AADC 2
AADC 2 (Ada Apa Dengan Cinta 2)? Bukan. Bukan itu yang saya maksud. Saya yang berada di Korea hanya bisa gigit jari sembari geram karena tak bisa menonton dan ikut-ikutan antri berjam-jam demi bernostalgia bersama Rangga dan Cinta. Jadi, apa maksud AADC 2 ini?
2 Mei adalah Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Jadi saya sengaja meminjam singkatan terheboh di tanah air saat ini untuk menelisik tentang “Ada Apa Dengan Cetakan” (AADC) tanggal 2 Mei, yang akhirnya sengaja saya plesetkan menjadi AADC 2. Saya yakin semua orang Indonesia tahu, ingat, dan sadar bahwa hari ini adalah Hardiknas. Entahlah. Jangan-jangan gara-gara (film) AADC ada yang “lupa” bahwa 2 Mei adalah Hardiknas.
Sengaja saya ganti kata yang diwakili oleh huruf “C” (Cinta) menjadi kata “Cetakan”. Ada apa dengan cetakan? Celotehan apa ini?
Terkait Hardiknas, ada hal yang sempat menggelitik saya, dan saya yakin para pembaca pun juga pernah mempertanyakan hal ini. Mengapa ada Hari Pendidikan dan tak ada Hari Pengajaran? Jika dijawab singkat, maka mendidik berbeda dengan mengajar. Orang yang mendidik, kemungkinan besar dia pun mengajar, bukan sebaliknya. Bahkan bisa dikatakan pula bahwa mendidik sebaiknya lebih diutamakan daripada sekedar mengajar. Dari sinilah bisa dikatakan bahwa mengajar tak ada bedanya dengan mencetak orang. Sementara itu, mendidik tidak mencetak, tapi membentuk orang.
Pengajar berbeda dengan pendidik. Pengajar yang mengajar hanyalah memindah apa yang ada di dalam otaknya kepada anak didik, lebih parah lagi dia sekedar memindah isi buku kepada orang lain lewat “pengajarannya”. Tak ada bedanya dia memberikan cetakan kepada anak didik untuk mencetak hal yang sama. Tak ada celah inovasi. Sedangkan, seorang pendidik menggunakan metode pengajaran sebagai (salah satu) sarananya untuk mempengaruhi daya pikir, daya kayal, bahkan moral anak didiknya. Di sinilah seorang pendidik tidak hanya puas mengajarkan ilmunya, namun dia membiarkan anak didiknya mengembangkan apa yang dipelajari bahkan dia pun ikut membentuk karakter anak didik.
Melongok ke tanah air, setiap tanggal ini pulalah seakan-akan kita “diingatkan” untuk lagi-lagi menengok pelbagai permasalahan yang tersisa (baca: terus ada?) dalam dunia pendidikan kita. Tiap tahun pas tanggal ini maka muncullah isu kurikulum, kualitas guru, kurangnya fasilitas, ketimpangan pendidikan antardaerah, dan “kerak-kerak” masalah yang tiap tahun seakan tiada habisnya dalam dunia pendidikan Indonesia. Untuk itulah, dalam celotehan ini, saya hanya ingin menekankan perkara “cetakan” ini.
Dengan menempatkan diri sebagai seorang mahasiswa dan tutor—dualisme yang saya sandang selama menjadi mahasiswa asing di sebuah universitas di Korea dan selama menjadi tutor di Universitas Terbuka Indonesia (UT) di Korea—saya bermimpi agar setiap orang mau dan berusaha menjadi pendidik. Seorang pendidik tidak harus seorang guru yang secara resmi bekerja dan berkarya di sekolah. Semua orang bisa menjadi pendidik. Identitas apa pun yang kita sandang, entah itu sebagai guru, murid, karyawan, pedagang, pekerja, penjaga toko, tukang parkir, petani, dokter, teknisi, dan apa pun itu, kita bisa menjadi pendidik.
Memang, tak ada salahnya bahwa ketika Hardiknas semua ingatan kolektif kita akan langsung menerawang ke urusan guru dan murid. Dalam Hardiknas ini, saya tiba-tiba merasakan kembali hubungan saya sebagai tutor dan mahasiswa saya di UT yang hampir semuanya adalah para pekerja migran yang kebanyakan hanya dianggap ke Korea cari uang. Justru, ada sebagian dari mereka yang memandang proses “membentuk” diri sebagai tujuan lain mereka ke Korea. Untuk itulah, siapa bilang saya yang mengajar apalagi mendidik mereka? Justru, ternyata selama 3 tahun menjadi tutor, mereka-lah yang telah “membentuk” saya menjadi seorang yang sabar dan sadar akan keberadaan dan identitas saya. Saya belajar banyak dari mereka yang di tengah kesibukan dan himpitan waktu, mereka tetap tegar untuk berusaha menuntut ilmu. Ya, mereka tak sadar telah mendidik saya yang pada awalnya datang untuk mengajar(?) mereka.
Intinya, saya yang pada awalnya hanya ingin mengajar, akhirnya malah belajar dari mereka. Niat berusaha menjadi pendidik yang baik pun semakin terasa. Saya yakin rekan tutor yang lain pun demikian adanya. Inilah yang saya maksudkan. Mahasiswa saya pun “mendidik” saya. Tak bisa lagi saya memandang mereka hanya sebagai pekerja, mereka adalah “pendidik” yang “membentuk” saya. Mereka tanpa sadar mengingatkan bahwa saya sebagai tutor tidak boleh sekedar “mencetak” mereka. Itu mudah tercapai jika saya hanya membaca modul pengajaran, menghafalnya, dan menerocos di depan mereka tanpa berusaha memahami mereka tanpa memberikan kesempatan mereka untuk berkembang. Itulah yang saya rasakan begitu saya “sadar” dan “diingatkan” bahwa 2 Mei adalah Hardiknas.
AADC? Ada Apa Dengan Cetakan? Jangan sekedar mencetak orang. Didiklah mereka sebagaimana mereka pun mendidik kita.
Namun, tak ada salahnya saya comot lagi AADC yang asli.
Ada Apa Dengan Cinta? Jangan sekedar mendidik tanpa Cinta.
Seoul, 2 Mei 2016.